Friday 16 January 2009

Wawancara Tokoh

Wawancara dengan Ustadz Asep Rodhi Hasbullah

Menurut Ustadz, bagaimana Islam memandang posisi seorang ibu?
Bismillahirahmanirrahiim…
Islam memandang bahwa sebagai seoarang manusia yang berada di bawah lindungan ALLAH SWT seorang wanita itu (termasuk ibu di dalamnya) dan seorang laki-laki (termasuk suami di dalamnya) itu kedudukannya sama. Mereka itu kedudukannya sama. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi para wanita mendukung emansipasi yang ekstrim. Islam sudah membela emansipasi wanita. Jadi, tidak ada alasan lagu untuk ekstrem di bidang kesetaraan gender. Islam sangat memperhatikan kaum wanita, khususnya para ibu. Dalam Islam, ibu demikian tinggi nilainya. Kita bisa melihatnya dari hadits: “Syurga dibawah telapak kaki ibu”. Dalam hadits ini, bapak tidak disebut. Kita bisa katakan, apabila anak menginginkan syurga maka dia tinggal pergi ke ibunya saja. Inilah status tinggi kedudukan seorang ibu yang sekaligus menunjukkan ada tanggung jawab seorang ibu di sana.

Tapi, beberapa pihak malah menyatakan sebaliknya. Islam disebut sebagai agama yang menghalagi kemajuan wanita, apa pendapat ustadz tentang pernyataan tersebut?
Berbicara masalah kesetaraan gender, Islam itu sudah dari jauh-jauh hari membela kaum ibu. Sebelum kedatangan Islam, kaum ibu dianggap seperti benda biasa, begitu rendah martabatnya. Wanita hidup dalam kenistaan, misalnya pada masa dulu seorang ibu dapat diwariskan seorang ayah pada anaknya untuk dapat “digunakan” anaknya, na’udzubillahi min dzalik. Dan kemudian, status keistriannya pun sangat lemah, sangat tidak mendukung dari segi kemanusiaan. Islam memang memberi batasan, namun dengan pembatasan yang tidak ekstrim. Islam memakai jalan tengah. Sangat adil dalam menentukan peran seorang ibu. Andaikan Islam ini terlihat menomor duakan kaum ibu, misalnya yang terkenal adalah aturan hak waris wanita sebesar setengah dari laki-laki, itu sebenarnya memposisikan ibu pada posisi yang sewajarnya. Bukankah para suami itu adalah para pencarai nafkah? Suami harus menafkahi istri, sedangkan harta istri tidak boleh diganggu gugat oleh suami. Dengan begitu, ibu itu bisa fokus mengurus dirinya, suaminya, dan anak-anaknya. Hal ini tidak akan bisa tergantikan. Apabila ibu meninggalkan peran tersebut, maka peran itu akan kosong dan terjadilah kerusakan di dunia manusia. Kemajuan wanita sifatnya betul-betul sesuai kodrat wanita yang nyata, jangan sampai lepas dari kodrat tersebut.

Memangnya, apa pentinganya keberadaan istri bagi suami?
Tentu saja, banyak. Pada prisnsipnya ketika kita menjalani bahtera rumah tangga kita punya tujuan bersama. Istri adalah partner untuk bersinergi sehingga apabila tidak ada istri akan terjadi kehilangan yang sangat besar. Istri lah yang akan merawat generasi untuk meneruskan perjuangan. Istri juga merupakan amanah dan kenikmatan terbesar dari ALLAH SWT, itu juga harus dipelihara terus untuk menjadikan istri yang solihah sebagai jaminan kenikmatan dunia yang terbesar. Kemudian, istri juga membuat suami menjadi lebih dewasa karena menjadi tanggung jawab para suami. Selain itu, ada yang akan mengkritik di rumah dengan tanpa tedeng aling-aling. Yang kalah penting, kita bisa lebih fokus dengan pekerjaan-ekerjaan kita karena istri memerankan fungsi dan tugas rumah tangga. Singkatnya, kita bisa katakan, keberadaan istri itu mutlak dibutuhkan suami.

Jika memang Islam memandang peran penting istri dalam rumah tangga, apakah kemudian Islam memperbolehkan wanita beaktivitas di luar rumah?
Iya, Islam itu mendukung wanita beaktivitas, bisa bekerja atau dalam kegiatan sosial. Bisa jadi aktivitas yang mengkin memiliki persamaan dengan yag digeluti laki-laki. Dalam bidang sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, bisnis, atau yang lain. Silakan...tetapi harus diingat, mereka tetap harus selalu sesuai dengan kodratnya sebagai seorang ibu. Seorang ibu itu mulia, karena dia merawat manusia, minimal merawat manusia yang ada di rumahnya. Berbeda dengan seorang ayah yang lebih fokus ke arah hal-hal yang bersifat kebendaan, misal dalam hal ekonomi. Melihat hal itu, lantas kenapa malah diperjuangkan kesetraan gender yang kebablasan, perjuangan yang mengkhianati kodrat seorang ibu. Wanita silakan aktif di luar rumah, asal batas-batas berupa fungsi dan peran ibu masih selau terjaga.

Kalau boleh tahu, apakah istri ustadz masuk kategori sibuk?
Iya. Istri saya sibuk sehingga saya tahu betapa lemahnya seorang istri yang sibuk itu ketika harus kembali pada fungsi dan perannya sebagai seoarang ibu. Dan ini juga dirasakan beratnya oleh saya sebagai suami karena saya harus beraktivitas diluar dan tetap harus menjadi pemimpin di rumah. Jadi, sebenarnya sama saja. Mau dia suami atau dia istri, masing-masing memiliki beban amanah. Dalam hal tugas, selain di rumah, Istri saya aktif di luar. Di PKS sebagai staf bidang kewanitaan dan di AIPL (Asosiasi Ibu Peduli Lingkungan) sebagai ketua. AIPL saat ini program utamanya adalah pengolahan sampah sistem Takakura. Dan itu cukup menyibukkan. Tapi, alhamdulillah, ada ibu-ibu lain yang membantu.

Apakah dengan segala kesibukan istri ustadz, apakah beliau masih bisa memaksimalkan perannya di rumah?
Ya di atur-atur lah, seperti kata Hasan Al banna mangatakan bahwa waktu kita itu sedikit dibanding dengan daftar kewajiban-kewajiban kita. Sama halnya istri saya juga, waktunya sama dengan kita, yaitu 24 jam. Tentunya ini membutuhkan manajemen waktu dan manajemen keluarga tersendiri. Namun, jika dinikmati, insya ALLAH akan terbiasa.

Dari pengalaman ustadz, apa hikmah wanita aktif di luar, dibanding jika hanya di rumah saja?
Seorang ibu adalah kepanjangan tangan tugas keluarga. Namun, tugas keluarga itu tidak membuat dia keluarga-minded yang lantas menghilangkan manfaatnya bagi masyarakat. Rasulullah SAW bersabda: ”manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi yang lain”. Jadi, ini adalah tuntutan dari keyakinan kita sebagai seorang muslim dan tuntutan sosial budaya dari masyarakat. Seorang ibu itu perlu aktif di luar, baik itu berupa karier, aktivitas yang sifatnya sosial, atau sekedar bertetangga. Para suami harus menyiapkan agar para istrinya dapat aktif di luar rumah demi menjaga eksistensi istrinya sebagai seorang wanita.
Untuk keluarga saya, ada hikmah tersendiri. Keluarga saya bisa lebih tumbuh dewasa, tidak manja, selalu berusaha mandiri, tidak terlalu ketergantungan kepada istri saya. Artinya, kami semua dapat saling membantu tugas-tugasnya di rumah.

Ustadz sendiri sibuk, istri juga sibuk. Lantas bagaimana Ustadz memerankan peran kepala rumah tangga agar situasi keluarga tetap baik meskipun semuanya sibuk?
Yah, memang dari segi intensitas, kami bisa jadi jarang bertemu. Kadang seharian bisa tidak bertemu, hanya bisa bertemu di waktu malam ketika tidur. Itu bisa saja terjadi. Yang penting adalah sikap saling percaya, saling mendorong bahwa ini adalah tugas dan peran yang harus dijalankan. Saya harus bisa mengaturnya. Misal, istri senang dengan kalimat verbal, ya dalam kesempitan waktu tetap kita ucapkan kata-kata verbal yang menyenangkan istri. Itu akan menjadi pelipur dari kesibukan masing-masing. Bisa juga ketika ada pekerjaan istri di rumah yang suatu saat harus di tinggalkan, saya harus siap membantu. Saya mengkondisikan keluarga dan istri pun menyatakan kekurangannya dengan meminta maaf kepada keluarga. Atau bisa juga dikompensasikan istri saya dengan kasih sayang dalam bentuk lainnya. Jadi kami mencoba menjadi keluarga yang dewasa, itu kuncinya.

Setelah terkondisikan, tapi apakah anak-anak masih ada yang mengeluhkan hal itu?
Sebagai seorang anak pasti menginginkan semacam pelayanan dari orang tua, itu wajar. Dan ketika pelayanan itu kurang, wajar apabila ada keluhan. Tapi, itu sifatnya insidental saja. Seperti ketika tugas mereka menumpuk atau ketika mau ujian sehingga merasa perlu bantuan kadang-kadang keluhan mereka muncul.

Untuk menjaga ritme keluarga apakah di keluarga ustadz ada aktivitas bersama yang diprioritaskan?
Tentu, itu selalu diupayakan. Kadang kami mengusahakan makan bersama di rumah, mengobrol bersama, menonton salah satu program TV bersama, saling mengingatkan, saling mengoreksi, dll. Atau juga, sesekali dengan momen2 tertentu kita pergi keluar bersama. Semacam rekreasi, tapi tentu sebatas kemampuan ekonomi yang ada. Misalnya, menengok saudara yang ada di pesantren.

Saat ini, demikian banyak ketidakharmonisan rumah tangga akibat istri terlalu banyak beraktivitas di luar, menurut ustadz, apa penyebab ketidakharmonisan RT?
Si istri keluar rumahnya untuk apa? Misalnya, karena suami tidak mampu. Jika memang suami tidak mampu, harap dikompensaikan. Bantu dong istrinya. Suami harus mau melakukan tugas rumah tangga jika istri keluar rumah atas kesepakatan bersama. Kecuali jika sang istri keluar hanya untuk mengejar obsesi kesenangan pribadi tanpa pertimbangan keluarga dan masyarakat. Itu lah penyebab ketidakharmonisan rumah tangga. Buat apa berumah tangga kalau berjalan sendiri-sendiri? Sekali lagi, istri boleh beraktivitas keluar rumah, tapi tetap harus membawa fungsi dan peran dia sebagai anggota keluarga juga. Itu bisa dan harus disiasati, dengan begitu tidak akan menjurus pada pertengakaran atau bahkan perceraian, na’udzubillahi min dzalik.

Dari segi perundang-undangan, apakah menurut ustadz undang-undang kita sudah cukup melindungi wanita untuk beraktivitas di luar rumah? Idealnya undang-undang itu wujudnya seperti apa ustadz?
Ibu itu ibarat kunoing telur, dilindungi cangkang dan putih telur. Karena itulah dalam Islam ada perintah jilbab untuk menjaga aurat para ibu, itu sangat efektif. Kalau dihubungkan perundang-undangan untuk perlindungan keberhargaan atau kemuliaan ibu itu tadi, bagi saya belum ideal. Misalnya, masih memberi peluang untuk bekerja di luar kodratnya. Seperti harus lembur, padahal dengan bekerja nya saja sudah memberatkan keluarga. Efeknya akan banyak. Idealnya, udang-undang tadi tetap bisa mengarahkan wanita untuk selalu sesuai kodratnya.

Terakhir ustadz, apa pesan untuk para ibu di Bandung Wetan?

Sebaiknya para ibu mengingat kembali kodratya sebagai seorang wanita. Bukankah syurga di bawah telapak kaki ibu, tapi pada kenyataannya tak jarang anak-anaknya malah bergaul dengan yang lebih menjurus pada neraka. Oleh karena itu, ibu benar-benar harus dapat memerankan perannya dan mewujudkan syurga di bawah telapak kaki ibu. Ibu harus bisa memayungi keluarga. Seperti kita ketahui, banyak wanita di Bandung Wetan ini berkarier, silakan, namun tetap jangan lupa kodratnya. Peran ini tidak bisa digantikan pembantu karena pembantu hanyalah membantu rumah tangga. Seorang ibu harus tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu, apapun profesi yang digelutinya.

Sebelum kedatangan Islam, kaum ibu dianggap seperti benda biasa, begitu rendah martabatnya. Wanita hidup dalam kenistaan, misalnya pada masa dulu seorang ibu dapat diwariskan seorang ayah pada anaknya untuk dapat “digunakan” anaknya, na’udzubillahi min dzalik. Dan kemudian, status keistriannya pun sangat lemah, sangat tidak mendukung dari segi kemanusiaan. Islam memang memberi batasan, namun dengan pembatasan yang tidak ekstrim. Islam memakai jalan tengah. Sangat adil dalam menentukan peran seorang ibu. Islam sangat memperhatikan kaum wanita, khususnya para ibu. Dalam Islam, ibu demikian tinggi nilainya. Kita bisa melihatnya dari hadits: “Syurga dibawah telapak kaki ibu”
Dalam hadits ini, bapak tidak disebut. Kita bisa katakan, apabila anak menginginkan syurga maka dia tinggal pergi ke ibunya saja. Inilah status tinggi kedudukan seorang ibu yang sekaligus menunjukkan ada tanggung jawab seorang ibu di sana. Seorang ibu itu mulia, karena dia merawat dan mendidikmanusia, minimal merawat dan mendidik manusia yang ada di rumahnya. Berbeda dengan seorang ayah yang lebih fokus ke arah hal-hal yang bersifat kebendaan, misal dalam hal ekonomi.Ketika menjalani bahtera rumahtangga, kita punya tujuan bersama. Istri adalah partner bersinergi, istri adalah amanah dan istri juga membuat suami menjadi lebih dewasa. Seorang ibu adalah kepanjangan tangan tugas keluarga. Namun, tugas keluarga itu tidak membuat dia keluarga-minded yang lantas menghilangkan manfaatnya bagi masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda: ”manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi yang lain”.
Jadi, ini adalah tuntutan dari keyakinan kita sebagai seorang muslim dan tuntutan sosial budaya dari masyarakat. Seorang ibu itu perlu aktif di luar, baik itu berupa karier, aktivitas yang sifatnya sosial, atau sekedar bertetangga. Para suami harus menyiapkan agar para istrinya dapat aktif di luar rumah demi menjaga eksistensi istrinya sebagai seorang wanita. Meskipun istri boleh beraktivitas keluar rumah, tapi tetap harus membawa fungsi dan peran dia sebagai anggota keluarga.
Sebaiknya para ibu mengingat kembali kodratya sebagai seorang wanita. Bukankah syurga di bawah telapak kaki ibu, tapi pada kenyataannya tak jarang anak-anaknya malah bergaul dengan yang lebih menjurus pada neraka. Oleh karena itu, ibu benar-benar harus dapat memerankan perannya dan mewujudkan syurga di bawah telapak kaki ibu. Ibu harus bisa memayungi keluarga. Seperti kita ketahui, banyak wanita di Bandung Wetan ini berkarier, silakan, namun tetap jangan lupa kodratnya. Peran ini tidak bisa digantikan pembantu karena pembantu hanyalah membantu rumah tangga. Seorang ibu harus tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu, apapun profesi yang digelutinya.

No comments:

Post a Comment