Wednesday 1 April 2009

Goput, Solusi Permasalahan Bangsa?






Saya cukup kaget ketika melihat tingginya angka golput (golongan putih) pada beberapa pilkada yang telah dilaksanakan. Ternyata saat ini tingkat kepercayaan masyarakat pada para pemimpin telah menurun dengan drastis. Faktor kondisi sosial ekonomi bisa kita pilih sebagai faktor penyebab utama. Silih bergantinya tampuk kepemimpinan, tidak jua mengubah kondisi masyarakat. Mayoritas dari mereka tetap hidup dalam kesusahan dan kemeleratan.
Penyebab seseorang memilih golput bisa bermacam-macam. Ada yang berpendirian menjadi golput karena menganggap siapapun pemimpinnya tidak akan mengubah kondisi yang ada. Saya memahami keadaan mereka, namun akan lebih baik bagi mereka untuk merenungkan pilihan mereka kembali. Kita harus sadar bahwa tidak mungkin semua calon benar-benar serupa. Apalagi jika kita mengingat bahwa saat ini kita tengah berada di orde reformasi. Sebuah era keterbukaan. Pada orde-orde sebelumnya, semua calon pemimpin dicetak menjadi satu warna, hanya saja mereka disamarkan dalam partai-partai yang berbeda. Jika kita masih hidup pada masa itu, kita sangat dimungkinkan untuk golput karena siapapun calon pemimpin yang dipilih tidak akan berpengaruh terhadap perubahan. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Keterbukaan telah cukup diberikan di era reformasi ini, contohnya tiap partai berhak memilih sendiri asas partainya. Dengan begitu, setiap partai mampu menggariskan sendiri jalan perjuangannya. Dan diantara para calon pemimpin tersebut, ada yang tidak seharusnya dicurigai tidak akan membawa perubahan yang berarti. Kita harus yakin orang-orang baik masih ada dalam pemerintahan kita.
Penyebab lain yang menyebabkan seseorang memilih golput karena karena sudah memiliki persepsi sendiri. Misalnya, ada sebagian kalangan yang tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu karena bagi mereka Pemilu bukan produk Islam. Sebuah pemikiran yang amat disayangkan mengingat demokrasi tak lebih hanya sebagai wahana saja, seperti sound system dalam sebuah masjid. Bisa dipakai atau juga bisa dipakai, tergantung besanya nilai manfaat yang bisa diambil. Demokrasi memang bukan berasal dari Islam, namun jika dia memberikan manfaat kepada masyarakat maka tidak ada salahnya kita gunakan. Rasulullah tidak anti dengan produk-produk dari luar Islam selama produk tersebut memberikan manfaat dan tidak masuk dalam kategori menghalalkan segala cara. Rasulullah pernah mencontohkannya dengan menganjurkan penggunaan sistem memohon perlindungan kepada tokoh Mekkah dan juga penggunaan sistem perang parit yang berasal dari Persia. Sejak awal kepemimpinannya, Rasulullah telah memiliki tradisi musyawarah. Dan apabila pada musyawarah tidak dapat diambil keputusan bersama, maka voting dapat dilakukan. Ini dapat kita lihat ketika penentuan strategi perang Uhud. Saat itu perdebatan kaum muda dan kaum muda begitu alot sehingga akhirnya perlu diadakan voting. Hak suara Rasulullah waktu itu sama, hanya satu suara saja. Dan hasil yang didapat Rasulullah menunjukkan bahwa beliau kalah voting. Beliau pada akhirnya tetap menjalankan keputusan hasil musyawarah dan voting tersebut.
Pilihan golput akan menimbulkan beberapa efek. Pada aspek pribadi seseorang, pilihan golput akan memunculkan watak egois dan ketidakpedulian pada lingkungan sekitar. Rasulullah SAW mengancam orang-orang yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Beliau bersabda: “ Barangsiapa yang tidak peduli kepada kaum muslim yang lainnya maka dia tidak diakui kedudukannya sebagai umat Rasulullah”. Pada aspek sosial, pilihan golput akan menghambat laju perubahan yang tengah terjadi. Kita harus sadar bahwa kita bisa menggunakan demokrasi sabagai alat perjuangan kita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kita diajarkan untuk selalu meilih pemimpin diantara kita. Jangankan dalam lingkup negara, apabila ada tiga orang berjalan bersama maka harus dipilih salah seorang untuk menjadi pemimpin rombongan kecil tersebut. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Kita sewajarnya menggunakan demokrasi sebagai sarana musyawarah kita untuk memilih pemimpin-pemimpin yang relatif lebih baik daripada yang lain. Jadi, apabila setiap calon memiliki kebaikan-kebaikan, kita dapat mencari calon yang relatif paling baik daripada yang lain. Sebaliknya, apabila setiap calon lebih cenderung untuk buruk, maka kita dapat meimlih calon yang keburukannya paling rendah diantara yang lain. Keberadaan pemimpin adalah mutlak adanya. Hanya pemimpin-pemimpin yang baik yang akan membawa pada keadaan yang lebih baik. Tugas kita turut berpartisipasi dalam memunculkan pemimpin yang baik tersebut dengan berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Negara adalah sebuah elemen penting dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Negara dapat mengucurkan dana yang lebih besar dibanding sebuah lembaga sosial. Dana tersebut dapat disalurkan dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan pertahanan. Hal ini akan terwujud jika kekuasaan negara dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang baik. Partai adalah tempat mengkader calon pemimpin tersebut. Semua partai memang selalu berorientasi pada kekuasaan. Perbedaannya, hanya partai yang baik yang tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk tujuan dunia saja. Partai yang baik adalah partai yang berorientasi pada akhirat. Partai yang berusaha selalu amar ma’ruf nahi munkar. Partai yang baik akan mengisi program-program kenegaraan yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Ini telah dibuktikan oleh PKS. Ketika kader-kader PKS menjadi anggota dewan, kepala daerah, atau menteri, mereka benar-benar melaksanakan amanahnya dengan baik. Misalnya, Menteri Pertanian Anton Apriantono telah berhasil mewujudkan swasembada beras.
Singkatnya, pilhan Golput adalah pilihan yang buruk. Golput berarti diam saja ketika melihat kondisi yang terjadi sekitarnya. Akan lebih baik jika kita tetap turut serta dalam menentukan pemimpin negeri ini dan dapat selalu objektif dalam menilai para calon pemimpin yang ada. Sudah saatnya kecurigaan kita hilangkan. Kita dapat melihat calon pemimpin yang ada di sekitar mereka. Mana yang benar-benar berkiprah untuk masyarakat. Mana yang benar-benar ikhlas dan tanpa pamrih. Dengan turut serta dalam memilih calon pemimpin yang baik, kita berharap arus perubahan yang lebih baik terjadi di negeri yang kita cintai ini. [HM]

Baca Selengkapnya......

KAMPANYE PARPOL, GOLPUT, DAN PEMILU YANG SUKSES



*Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen, S.T.

Hingar-bingar Pemilihan Umum 2009 dan derap kampanye partai beserta calon-calon legislatif yang diusungnya semakin intensif dalam pekan-pekan terakhir ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara “kenduri” nasional ini sudah semenjak beberapa bulan ke belakang melakukan pendataan dan verifikasi pemilih. Sementara itu, partai-partai peserta Pemilu mulai berbenah dan sibuk dengan urusan memilah-milah kader-kader mereka untuk mengisi ratusan kursi wakil rakyat baik di level nasional mau pun daerah. Dalam riuh rendah pesta demokrasi lima tahunan ini, masyarakat biasa, di luar kedua pihak tadi, memiliki posisinya sendiri; sebagai konsumen hasil pemilu sekaligus pihak yang memberikan suara untuk memutar roda demokrasi. Wajar bila lantas masyarakat pun menjadi sasaran beragam wacana jelang pemilu, mulai dari golput sampai kampanye caleg dari partai-partai peserta pemilu.

Golput, sedikitnya timbul karena dua alasan besar : teknis mau pun ideologis. Teknis di sini berarti terjadi kecacatan dalam proses pendaftaran pemilih, sementara ideologis berarti masyarakat memang memilih untuk tidak memberikan suaranya dengan beberapa alasan. Alasan yang sering terdengar adalah kemampuan partai dan kader-kadernya diragukan dan sistem pemilu yang ada hanya akan kembali menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kurang, bahkan tidak cakap. Harapan dari pihak yang memilih golput adalah supaya gerakan mereka mampu mengurangi keabsahan hasil pemilu, hingga pada puncaknya ada perbaikan sistem ke arah yang lebih baik. Sebagai sebuah wacana, golput dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat tentang demokrasi. Namun sebagai sebuah gerakan, golput tidak mempunyai pijakan dan tujuan yang cukup kuat. Pertama, tujuan pengurangan keabsahan pemilu tidak akan pernah tercapai. Hal ini sudah dibuktikan di Jawa Barat, Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya, di mana angka golput bahkan ada yang mencapai lebih dari 40%. Lantas apa yang terjadi di sana? Seperti kita tahu bersama, hasil pemilu tetap sah dan pemerintahan dapat terus berjalan. Hal itu jelas tertera dalam pasal 205-209 UU 10/2008 tentang Pemilu. Berapa pun jumlah suara sah yang terkumpul, kursi yang ada di masing-masing daerah pemilihan akan dibagi habis kepada partai-partai yang lolos ambang batas pemilihan (electoral threshold); tidak tertulis tentang legitimasi pemilu di sini. Kedua, wacana golput jelang pemilu 2009 ini tidaklah dibarengi dengan sebuah upaya konstruktif untuk menawarkan alternatif yang jelas kepada masyarakat. Alih-alih mencerdaskan, golput justru menjadi pembenaran akan sikap acuh dan pasif dari masyarakat. Setelah disuguhkan beragam berita negatif penuh “sensasi” dari media massa tentang dunia perpolitikan di Indonesia, masyarakat menemukan pembenaran atas ungkapan “politik itu kotor” dari pihak-pihak yang mewacanakan golput. Di sini kita menemukan kenyataan pahit yang berkembang di masyarakat: tidak peduli akan proses politik di Indonesia karena lebih mengutamakan untuk mengurus kehidupan sehari-hari, namun terpengaruh oleh jargon “politik itu kotor” yang diwacanakan oleh media massa populer. Masyarakat menelan bulat-bulat wacana itu dan kemudian memilih terpenjara dalam sikap pasifnya.

Di ujung sisi yang lain, kita juga menemukan gegap-gempita kampanye yang dilakukan oleh calon anggota legislatif partai peserta pemilu. Beragam upaya dilakukan, mulai dari pencerdasan hingga pengenalan sederhana melalui spanduk dan baligho; yang terkadang berlebihan dan menganggap masyarakat adalah pihak yang mudah dibodoh-bodohi. Banyak di antara mereka yang khilaf dan lupa, bahwa janji sekarang adalah utang di masa depan. Masyarakat dianggap sudah melupakan rekam jejak mereka lima tahun ke belakang; anggapan mereka: cukup digempur jelang pemilu maka suara akan dapat dipanen. Memanfaatkan masa peralihan demokrasi, calon-calon legislative semcam ini mencoba mengambil keuntungan dari massa mengambang yang senantiasa “cair” dan mudah diombang-ambingkan. Bahkan tak jarang di antara mereka masih menggunakan taktik kuno, yang sayangnya masih cukup efektif di zaman krisis seperti ini: memberi uang dan sembako kepada masyarakat untuk mendapatkan suara mereka. Dari praktik seperti ini lah lantas lahir kemuakkan sebagian masyarakat kepada sistem politik di Indonesia, yang dapat berujung ke wacana golput tadi. Inilah dia siklus yang sedang terjadi 5 tahun belakangan ini.

Sejatinya, ada dua masalah besar di sini. Pertama adalah ketidak percayaan sebagian masyarakat, pengusung wacana golput, terhadap pemilu dan semua yang terlibat di dalamnya. Kedua, pencerdasan pemilu yang kurang memadai oleh parpol-parpol peserta pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat. Di antara dua masalah besar ini ada irisan yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal. Karena demokrasi menuntut partisipasi aktif bukan hanya dari parpol dan pemerintah melainkan juga dari masyarakat, maka apatisme dan ketidakacuhan masyarakat lah yang harus diberantas. Bagaimana mungkin kita bisa menilai politik itu kotor apabila kita hanya sekilas mendengar dan membaca potongan-potongan berita di media massa? Di sini, sebagian masyarakat yang tidak percaya terhadap pemilu dapat meletakkan wacana golput yang diusungnya untuk bahu-membahu bersama parpol dan pemerintah melakukan pencerdasan menyeluruh kepada semua lapisan masyarakat. Hasil yang didapat akan jauh lebih efektif; masyarakat luas yang tercerdaskan akan dapat menyaring informasi yang diperoleh dari media massa, menolak dengan tegas politik uang dan lantas menjadi pengawas yang efektif terhadap keberjalanan demokrasi di Indonesia. Dari sini, semua pihak diuntungkan. Parpol dan pemerintah tidak bisa bermain-main lagi dengan suara rakyat dan pengusung wacana golput pun dapat mencapai tujuannya: perbaikan sistem, tanpa perlu mengeluarkan energi sia-sia untuk mendeligitimasi (mengurangi keabsahan) hasil pemilu, yang jelas-jelas tidak dimungkinkan oleh undang-undang.

Sebagai penutup, sebuah pertanyaan penting patut kita renungkan : Indonesia seperti apakah yang kita impikan? Jawaban apa pun yang ada, semuanya menuntut peran aktif kita dalam hidup bernegara. Kenali pemimpin dan wakil-wakil kita, pelajari apa yang sedang terjadi di negara ini dan berpartisipasilah dalam batas kemampuan kita. Pun demikian dengan Pemilu 2009; kenali parpol yang ada, amati program-program mereka dan gali informasi sebanyak mungkin tentang calon-calon legislatifnya. Jangan pernah mau terbawa hanyut dalam gelombang keputus-asaan akan proses pemilu yang sedang berjalan. Pelajari sendiri dan putuskan sendiri. InsyaAllah Indonesia yang lebih baik akan segera kita songsong.

Wallahu’alam bish-shawab.


*Penulis adalah lulusan S1 Teknik Planologi ITB yang sedang melanjutkan program pascasarjana (magister)-nya di Belanda

Baca Selengkapnya......