Wednesday 1 April 2009

KAMPANYE PARPOL, GOLPUT, DAN PEMILU YANG SUKSES



*Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen, S.T.

Hingar-bingar Pemilihan Umum 2009 dan derap kampanye partai beserta calon-calon legislatif yang diusungnya semakin intensif dalam pekan-pekan terakhir ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara “kenduri” nasional ini sudah semenjak beberapa bulan ke belakang melakukan pendataan dan verifikasi pemilih. Sementara itu, partai-partai peserta Pemilu mulai berbenah dan sibuk dengan urusan memilah-milah kader-kader mereka untuk mengisi ratusan kursi wakil rakyat baik di level nasional mau pun daerah. Dalam riuh rendah pesta demokrasi lima tahunan ini, masyarakat biasa, di luar kedua pihak tadi, memiliki posisinya sendiri; sebagai konsumen hasil pemilu sekaligus pihak yang memberikan suara untuk memutar roda demokrasi. Wajar bila lantas masyarakat pun menjadi sasaran beragam wacana jelang pemilu, mulai dari golput sampai kampanye caleg dari partai-partai peserta pemilu.

Golput, sedikitnya timbul karena dua alasan besar : teknis mau pun ideologis. Teknis di sini berarti terjadi kecacatan dalam proses pendaftaran pemilih, sementara ideologis berarti masyarakat memang memilih untuk tidak memberikan suaranya dengan beberapa alasan. Alasan yang sering terdengar adalah kemampuan partai dan kader-kadernya diragukan dan sistem pemilu yang ada hanya akan kembali menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kurang, bahkan tidak cakap. Harapan dari pihak yang memilih golput adalah supaya gerakan mereka mampu mengurangi keabsahan hasil pemilu, hingga pada puncaknya ada perbaikan sistem ke arah yang lebih baik. Sebagai sebuah wacana, golput dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat tentang demokrasi. Namun sebagai sebuah gerakan, golput tidak mempunyai pijakan dan tujuan yang cukup kuat. Pertama, tujuan pengurangan keabsahan pemilu tidak akan pernah tercapai. Hal ini sudah dibuktikan di Jawa Barat, Sumatera Utara dan beberapa daerah lainnya, di mana angka golput bahkan ada yang mencapai lebih dari 40%. Lantas apa yang terjadi di sana? Seperti kita tahu bersama, hasil pemilu tetap sah dan pemerintahan dapat terus berjalan. Hal itu jelas tertera dalam pasal 205-209 UU 10/2008 tentang Pemilu. Berapa pun jumlah suara sah yang terkumpul, kursi yang ada di masing-masing daerah pemilihan akan dibagi habis kepada partai-partai yang lolos ambang batas pemilihan (electoral threshold); tidak tertulis tentang legitimasi pemilu di sini. Kedua, wacana golput jelang pemilu 2009 ini tidaklah dibarengi dengan sebuah upaya konstruktif untuk menawarkan alternatif yang jelas kepada masyarakat. Alih-alih mencerdaskan, golput justru menjadi pembenaran akan sikap acuh dan pasif dari masyarakat. Setelah disuguhkan beragam berita negatif penuh “sensasi” dari media massa tentang dunia perpolitikan di Indonesia, masyarakat menemukan pembenaran atas ungkapan “politik itu kotor” dari pihak-pihak yang mewacanakan golput. Di sini kita menemukan kenyataan pahit yang berkembang di masyarakat: tidak peduli akan proses politik di Indonesia karena lebih mengutamakan untuk mengurus kehidupan sehari-hari, namun terpengaruh oleh jargon “politik itu kotor” yang diwacanakan oleh media massa populer. Masyarakat menelan bulat-bulat wacana itu dan kemudian memilih terpenjara dalam sikap pasifnya.

Di ujung sisi yang lain, kita juga menemukan gegap-gempita kampanye yang dilakukan oleh calon anggota legislatif partai peserta pemilu. Beragam upaya dilakukan, mulai dari pencerdasan hingga pengenalan sederhana melalui spanduk dan baligho; yang terkadang berlebihan dan menganggap masyarakat adalah pihak yang mudah dibodoh-bodohi. Banyak di antara mereka yang khilaf dan lupa, bahwa janji sekarang adalah utang di masa depan. Masyarakat dianggap sudah melupakan rekam jejak mereka lima tahun ke belakang; anggapan mereka: cukup digempur jelang pemilu maka suara akan dapat dipanen. Memanfaatkan masa peralihan demokrasi, calon-calon legislative semcam ini mencoba mengambil keuntungan dari massa mengambang yang senantiasa “cair” dan mudah diombang-ambingkan. Bahkan tak jarang di antara mereka masih menggunakan taktik kuno, yang sayangnya masih cukup efektif di zaman krisis seperti ini: memberi uang dan sembako kepada masyarakat untuk mendapatkan suara mereka. Dari praktik seperti ini lah lantas lahir kemuakkan sebagian masyarakat kepada sistem politik di Indonesia, yang dapat berujung ke wacana golput tadi. Inilah dia siklus yang sedang terjadi 5 tahun belakangan ini.

Sejatinya, ada dua masalah besar di sini. Pertama adalah ketidak percayaan sebagian masyarakat, pengusung wacana golput, terhadap pemilu dan semua yang terlibat di dalamnya. Kedua, pencerdasan pemilu yang kurang memadai oleh parpol-parpol peserta pemilu kepada seluruh lapisan masyarakat. Di antara dua masalah besar ini ada irisan yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal. Karena demokrasi menuntut partisipasi aktif bukan hanya dari parpol dan pemerintah melainkan juga dari masyarakat, maka apatisme dan ketidakacuhan masyarakat lah yang harus diberantas. Bagaimana mungkin kita bisa menilai politik itu kotor apabila kita hanya sekilas mendengar dan membaca potongan-potongan berita di media massa? Di sini, sebagian masyarakat yang tidak percaya terhadap pemilu dapat meletakkan wacana golput yang diusungnya untuk bahu-membahu bersama parpol dan pemerintah melakukan pencerdasan menyeluruh kepada semua lapisan masyarakat. Hasil yang didapat akan jauh lebih efektif; masyarakat luas yang tercerdaskan akan dapat menyaring informasi yang diperoleh dari media massa, menolak dengan tegas politik uang dan lantas menjadi pengawas yang efektif terhadap keberjalanan demokrasi di Indonesia. Dari sini, semua pihak diuntungkan. Parpol dan pemerintah tidak bisa bermain-main lagi dengan suara rakyat dan pengusung wacana golput pun dapat mencapai tujuannya: perbaikan sistem, tanpa perlu mengeluarkan energi sia-sia untuk mendeligitimasi (mengurangi keabsahan) hasil pemilu, yang jelas-jelas tidak dimungkinkan oleh undang-undang.

Sebagai penutup, sebuah pertanyaan penting patut kita renungkan : Indonesia seperti apakah yang kita impikan? Jawaban apa pun yang ada, semuanya menuntut peran aktif kita dalam hidup bernegara. Kenali pemimpin dan wakil-wakil kita, pelajari apa yang sedang terjadi di negara ini dan berpartisipasilah dalam batas kemampuan kita. Pun demikian dengan Pemilu 2009; kenali parpol yang ada, amati program-program mereka dan gali informasi sebanyak mungkin tentang calon-calon legislatifnya. Jangan pernah mau terbawa hanyut dalam gelombang keputus-asaan akan proses pemilu yang sedang berjalan. Pelajari sendiri dan putuskan sendiri. InsyaAllah Indonesia yang lebih baik akan segera kita songsong.

Wallahu’alam bish-shawab.


*Penulis adalah lulusan S1 Teknik Planologi ITB yang sedang melanjutkan program pascasarjana (magister)-nya di Belanda

1 comment:

  1. (nama ada pada redaksi)1 April 2009 at 22:54

    Howe (1994) dalam jurnalnya yang berjudul "Planner's Role..." menggambarkan bahwa ragam perencana ada 6... Traditional Technicians, Passive Hybrid, Technician Activist, Active Planner, Process Planner, dan terakhir Closet Politician...

    My point is... be a great Active Planner... avoid being Closet Politician... ^_^

    Great Article...

    (nama ada pada redaksi), ST. (T. Planologi/PWK @ Brawijaya Univ.), MBEnv. (M. Built Environment candidate @ UNSW)

    ReplyDelete