Monday 2 March 2009

Bandung Dulu dan Sekarang

Berikut adalah resume wawancara dengan Ust. Asep Rodhi yang dimuat pada BEWARA Edisi 3 tanggal 19 Muharram 1430 H/15 Januari 2008,

Saya lahir di kota Bandung dan hingga saat ini tinggal di kota Bandung sehingga saya cukup banyak melihat perubahan kota yang saya cintai ini. Banyak perubahan yang telah terjadi.

Saya dahulu mengenal kota Bandung termasuk kota yang sejuk. Tidak seperti sekarang yang lumayan panas dan sangat tidak nyaman. Hal ini terjadi karena kian hari jumlah ruang terbuka hijau kian sedikit. Saya akui, saya cukup berbahagia ketika ada penambahan lahan terbuka hijau, misalnya pengubahan lahan terbuka hijau menjadi taman kota. Namun, pertambahan tersebut sebetulnya tidak terasa karena tidak sebanding dengan luas kota Bandung. Saya dahulu mengenal kota Bandung sebagai kota dengan lalu lintas yang lengang dan nyaman. Berkebailkan dengan sekarang yang sering macet di beberapa lokasi. Saya harus menambahkan waktu macet ke dalam waktu perjalanan. Selain itu, jalur yang tidak jelas sering menyulitkan para pengendara, khususnya bagi mereka yang masih baru di kota Bandung. Jumlah angkot yang terlalu banyak menjadi keluhan masyarakat karena menjadi salah satu sumber kemacetan. Kasus Trans Metro Bandung seharusnya kita jadikan pelajaran yang berharga. Kita bisa menarik garis merah bahwa kesemrawutan yang timbul adalah akibat dari kesemrawutan pembangunan.

Sering kita melihat pembangunan daerah hutan dan resapan air tanah menjadi bangunan-bangunan yang bukan peruntukannya, seperti kasus pembangunan villa daerah Punclut.
“Kesalahan pembangunan akan mengarah ke satu hal, yakni bencana.”
Semakin sedikitnya hutan akan menyebabkan kota Bandung semakin panas. Selain itu, banjir akan semakin lazim di musim hujan. Air tanah tidak lagi diserap dan akan meluapkan sungai-sungai yang ada. Jika musibah ini terjadi, kesengsaraan pasti akan dirasakan oleh seluruh warga kota Bandung yang tinggal di dekat sungai.
Salah satu yang terbaru, banjir yang dialami tetangga-tetangga saya akibat pembangunan salah satu mall baru. Di lain pihak, ada sebuah ironi ketika kita berada di musim kemarau, kita kesulitan air. Masyarakat terzalimi dengan pengelolaan air kota. Seandainya tata air dikelola dengan baik, tentu air yang ada dapat didayagunakan dengan lebih optimal.

Ketika saya berdiskusi dengan masyarakat sekitar, hal yang paling memberatkan mereka dalam hal tata kota adalah masalah pasar tradisional dan pembangunan mall. Bagi mereka, pembangunan mall sudah tidak berarah. Saya sepakat dengan mereka, di kota Bandung jumlah mall sudah terlalu banyak. Mall yang baru malah mematikan mall yang umurnya lebih tua, ini bisa kita lihat dengan sepinya mall-mall lama. Keberadaan pasar tradisional merupakan karakter asli bangsa kita dan akan sangat bermanfaat bagi para pedagang yang berjualan atau masyarakat yang berbelanja di sana. Saya melihat kondisi pasar tradisional di kota memprihatinkan.

Pemerintah kota seharusnya mampu melihat kondisi ini dan berupaya menata kembali. Namun, penataan ini jangan sampai seperti yang telah sering terjadi. Katanya hendak merenovasi pasar tradisional, tapi pada kenyataannya malah dijadikan mall. Pedagang tidak bisa lagi berjualan di sana. Akan lebih baik jika pasar itu dibangun atas inisiatif dari pedagang itu sendiri. Mereka seharusnya diikutkan dalam forum pembahasan dengan investor dan pengembang serta dilibatkan dalam pengawasan pembangunannya. Dengan begitu, semua pihak akan puas dan para pedagang tiak akan terzalimi (seperti yang sering terjadi hingga saat ini).

Idealnya, master plan (perencanaan awal) yang dibuat merupakan hasil gabungan ide dan diskusi dari seluruh unsur yang terkait. Dengan begitu, pembangunan yang diadakan akan berkelanjutan dan tidak tambal sulam. Pembangunan yang ada akan mengarah pada terciptanya kota yang ideal, lengkap, mengayomi warga, dan humanis. Bagi saya, kota Bandung belum memenuhi kriteria tersebut.

Anggota dewan harus mampu mendorong eksekutif untuk mewujudkan master plan tersebut. Selain itu, pembangunan harus mereka awasi hingga bisa konsisten. Dengan begitu, pembangunan bisa bertahap dan selalu melihat urgensi atau kebutuhan bagi masyarakat kota. Juga dalam penataan kota yang telah ada dan harus segera dibenahi. Dana yang ada jangan sampai habis untuk pembangunan yang justru tidak mendukung terciptanya kota Bandung sebagai kota yang modern dan bersahabat yang dikenal sebagai Paris Van Java dan termasuk dalam Persaudaraan Kota-Kota di Dunia. Tugas kita, untuk bersama-sama menjaganya. (HM)

No comments:

Post a Comment